Geologi Struktur Indonesia : Evolusi Morfotektonik Zona Rembang

STRATIGRAFI
  Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983).
  Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).
  Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai Cepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.
  Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika.
  Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.
  Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.

Formasi Kujung
  Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.
Formasi Tuban
  Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam PanduanFieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.
Formasi Tawun
  Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).
  Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta batu gamping yang kaya akan foraminifera besar golongan Orbitoidae seperiLepidocyclina.
  Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.
Formasi Ngrayong
  Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds.Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batu pasir dengan intercalation batu bara dan sandy clay.
  Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dariorbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas darishore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).
Formasi Bulu
  Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besardarispesies Cycloclypeus(Katacycloclypeus)annulatusberasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.
  Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).
Formasi Wonocolo
  Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).
  Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina oleh Trooster (1937) .Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok . Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 5–20 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah – Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).
  Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.
Formasi Ledok
  Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983).  Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16–N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.
  Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.
Formasi Mundu
  Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).
Formasi Selorejo
  Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.
  Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.
  Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).
Formasi Lidah
  Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan Turi–Domas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).
  Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. danAsterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.
I.1.7 Formasi Paciran
  Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.


STRUKTUR GEOLOGI
  Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut–baratdaya diduga mengikuti konfigurasi basementBasement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mélange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah timur–barat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah timur–barat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari kelompok mélange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur dari cekungan ini.
  Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan struktur timur–barat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-Kangean–Madura–Sepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional,yang kemudian diikuti oleh fase tektonik inverse sejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut dalam (zona Kendeng).
  Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :
1. Paleogen Extension Rifting
2. Neogen Compressional Wrenching
3. Plio – Pleistocene Compressing Thrust – Folding
  Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timur–barat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya kontrol  tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.
  Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.
  Periode Plio – Pleistocene Compressional Thrust – Folding ditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik. Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.
  Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda.
MORFOTEKTONIK
  Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase:
1.   Fase  Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang berupa mélange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupa fore arc basin
2.   Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fase sagging – inverse. Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan delta.
3.   Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah).
4.   Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang berupa batugamping juga ditemukan.


Perkembangan Organisme Di Bumi Selama Jaman Kapur
FLORA
  Famili dari Araucaricaceae yang sekarang hanya ada di bumi belahan selatan. Terawetkan di Arizona. Diameternya 1,5 meter dan panjangnya mencapai 30 meter. Paku – pakuan yang pertama ada pada Jaman  Jura akhir dan menyebar luas pada Jaman Kapur, sebagaimana telah terfosilkannya dalam bentuk kayu. Sequoias muncul selama Jaman  Jura dan menjadi umum pada Jaman Kapur. (Stokes, 1973).
  Kepunahan dan perubahan yang mendadak dalam dunia vegetasi di bumi terjadi pada Jaman Kapur tengah. Awalnya, selama Jaman  Trias dan Jura, tanaman yang paling banyak adalah gymnospermae, atau tanaman tak berbunga. Variasinya antara cycads, dan tanaman paku – pakuan lain. Setelah Jaman Kapur tengah, tanaman yang muncul adalah angiospermae atau tanaman berbunga. Tanaman ini mempunyai struktur bunga dan ada sel telur. Angiospermae ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu dikotil dan monokotil. Dikotil merupakan tanaman berakar serabut dan dengan tulang daun yang bercabang. Jenisnya seperti pohon. Monokotil merupakan tanaman berakar tunggal dengan tulang daun yang sejajar. Tanamannya seperti rumput, palem, bunga lili, dan anggrek. Diperkirakan ada sekitar 175.000 spesies tanaman berbunga yang hidup. Sedikitnya, 30.000 fosil spesiesnya telah ditemukan. Tanaman ini berbunga pada semua iklim dan termasuk pepohonan.(Stokes, 1973).
  Asalmula dari angiospermae merupakan permasalahan yang tak terpecahkan. Umumnya tersebar mendominasi pada Jaman Kapur. Tanaman palem San miguelia, ditemukan pada batuan Jaman  Trias atas dari Colorado barat daya, mempunyai kemungkinan sebagai angiospermae yang paling tua yang pernah ditemukan. Sedangkan jejak dari magnolia, sassafrasfig dan willow umumnya hadir pada batuan Jaman kapur atas. Hutan dari angiospermae ini mendukung pada bentukan dari batubara pada Jaman Kapur. Butiran pollen dari kelompok ini berguna dalam mengetahui keadaan iklim dan sebagai korelasi antara tanaman yang ada.(Stokes, 1973).
  Fosil dari kelompok tumbuhan berbunga pada Jaman Kapur sangat mirip dengan spesies pada masa kini. Fosil tersebut adalah adanya daun dari Platanus, pada masa kini adalah genus sycamores. Buahnya mirip dengan genus ficus pada masa kini. Tumbuhan yang sejenis antara lain pohon palem, famili oak, dan famili walnut.(Stanley, 1986).
FAUNA
  Pada akhir Jaman Kapur, terdapat dua kelompok besar plangton bersel satu yang ada sejak Jaman Kapur tengah. Keduanya adalah foraminifera globigerinid dancocolithophore yang memberikan kontribusi besar pada sedimen calcareous di daerah laut. Selama akhir Jaman Kapur, cocolithophore pada lingkungan laut hangat dapat membentuk coccolith. Apabila terakumulasi dalam volume yang besar, maka dapat  menjadi batugamping berukuran butir halus yang umumnya disebut chalk.(Stanley, 1986).
  Hewan pelagik yang ada di laut, antara lain Ammonoids dan belemnoids sebagai karnivora berenang yang dominan. Ammonoids sendiri sebagai fosil indeks yang sangat berharga untuk sistem Jaman Kapur. Pada Jaman Kapur ini, hadir ikan teleost. Ciri – cirinya adalah ekor yang simetri, relaif melonjong, gigi yang pendek yang disesuaikan untuk mencari makanan. Ikan di jaman sekarang yang hampir sama antara lain ikan salmon, dan piranha amerika selatan. Ikan Hiu Jaman Kapur mempunyai bentukan yang sama dengan sekarang. Reptil laut yang ada seperti Plesiosaurus yang berkembang pada Jaman Kapur akhir. Ada mossasurus, sebagai hewan laut yang dapat tumbuh memanjang hingga 15 meter. Terdapat fosil yang menunjukkan mossasurus menyerang ammonoids. Ada Hesperornis, sebagai burung penyelam, mempunyai ciri – ciri kaki lebar dan bersayap kecil yang disesuaikan untuk berenang. Kura – kura laut juga ada selama Jaman Kapur ini, sering disebut dengan Archelon.(Stanley, 1986).
  Kehidupan di dasar laut, merupakan kelanjutan dari kehidupan pada Jaman Jura. Kebanyakan adalah koral atau heksa koral. Organisme tersebut ada yang masih bertahan hingga masa kini. Beberapa di antaranya foraminifera Alabamina,AnomalinoidesPleurostomella, Fissoelphidium, dan Siphogeneroides. Bryozoa yang hadir pada umumnya adalah cheilostomes, di antaranya ada Rhiniopora danOnychocella. Organisme ini berasal dari Jaman Jura, mengalami perkembangan yang pesat pada Jaman Kapur ini. Moluska kelas gastropoda yang muncul adalahNeogastropoda atau "new snails“. Organisme ini memunculkan famili dan genus yang baru. Hewan ini karnivora dengan makanannya berupa cacing, bivalvia, dan snail yang lainnya. Terdapat pula Sea Grass, yang bukan merupakan rumput yang sebenarnya seperti pada era kenozoik, tetapi seperti tanaman berumput yang menyelimuti dasar samudera dan terbentuk selama Jaman Kapur ini. Di antara bivalvia yang hidup di permukaan substratum, terdapat rudist sebagai organisme yang istimewa karena hidupnya seperti koral, pembentuk karang daerah tropis. Pembentuknya berupa heksa koral dan alga coralin. Kehadiran rudist ini dapat mengasumsikan bahwa keadaan yang dominan pada Jaman Kapur berupa pertumbuhan karang di daerah tropis. Hampir semua karang yang berada pada lingkungan shallow didominasi oleh rudist.Pertumbuhannya cepat, seperti koral pembentuk terumbu. Kepunahannya seperti punahnya dinosaurus pada akhir Jaman Kapur.(Stanley, 1986).
  Pelecypoda jenis rudist yang membentuk terumbu pada Jaman Kapur berkembang pesat dan menggeser kedudukan koral. Rudist tersebut antara lain Monopleura,Hippurites, dan Durania. Bentuk umum ketiganya hampir sama, yaitu relatis mengkerucut ke arah bawah. (Mintz, 1981 hal.477)
  Pada awal Jaman Kapur, keberadaan dari fauna invertebrata tidak banyak diketahui. Tetapi dari fosil yang tersedia, menunjukkan keberlanjutan dari dinosaurus.reptil – reptil ini mempunyai ukuran/bentuk tubuh yang besar, lebih besar dari ukuran manusia.Dinosaurus karnivora yang hadir adalah Albertosaurus dan Tyrannosaurusdari genus Chasmosaurus. Hewan ini tingginya sekitar 4,4 meter. Reptil terbangnya adalah Pterosaurus dari genus Quetzalcoatlus, sedangkan burung air juga ada dengan pembedanya pada sayap keduanya. Terdapat juga buaya dengan panjang sekitar 15 meter. Ular yang hadir merupakan kelompok muda yang primitif. Bila dibangdingkan dengan sekarang, bentukannya seperti phyton. Dinosaurus herbivora yang ada sepertiEdmontonia dari genus Corythosaurus. .(Stanley, 1986).
  Vertebrata Jaman Kapur yang punya masa depan bagus dalam perkembangannya adalah mamalia, yang berbeda jauh dengan reptil. Ukuran / bentuk tubuhnya kecil. Mamalia pertama adalah jenis marsupial, yang sekarang banyak terapat di Australia seperti kangguru, wombat dan koala. Di Amerika ada Opossum. Kehadiran plasenta berpengaruh terhadap keberadaan mamalia ini. (Stanley, 1986).

 KESIMPULAN

  Pada Jaman Kapur, Kehidupan di daratan  didominasi Dinosaurus keberadaan tersebar di seluruh daratan di muka bumi. Tanaman berbunga (angiospermae) berkemnbang pesat hingga menggantikan dominasi dari gymnospermae yang merupakan tanaman utama pada Jaman sebelumnya. Pada lantai samudera terdapat cococlith yang nantinya mengendap ,membentuk chalk yang tersebar secara luas. Pada akhir Jaman Kapur, muncul dua kelompok plangton baru yaitu diatom dan foraminifera yang tersebar pada waktu yang bersamaan. Pada pertengahan Jaman Kapur, Ikan Teleost muncul dan berkembang bersama dua kelompok karnivora yang telah ada lebih awal yaitu kepiting dan snail predator. Bivalvia jenis rudist menjadi organisme pembentuk karang/terumbu yang dominan, tetapi organisme ini punah pada akhir Jaman Kapur bersamaan dengan punahnya dinosaurus dan organisme lainnya. (Stanley, 1986).