DANAU TOBA , SUMATERA UTARA


Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang, Berastagi dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara
Danau toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah yang ketiga, dua letusan sebelumnya sudah pernah terjadi dalam jangka waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau Toba sekarang diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal) sedemikian hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi. 
Volume erupsi diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma dan 800 km kubiknya terendapkan sebagai abu vulkanis. Ukuran ledakannya adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di belahan bumi utara.

Menurut Alan Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida dalam simulasinya menunjukkan pendinginan global maksimum sekitar 15 °C, tiga tahun setelah letusan. Ini berarti garis pepohonan dan salju sekitar 3000 meter lebih rendah dari sekarang. Dalam beberapa dekade, iklim kembali pulih.

Walau ada banyak perbedaan pendapat dan metode, para ilmuan setuju kalau letusan super Toba mengakibatkan lapisan hujan abu yang sangat tebal dan masuknya gas-gas beracun ke atmosfer, sehingga mempengaruhi iklim dunia masa itu. Beberapa menduga peristiwa ini memicu zaman es 1000 tahun yang terjadi kemudian.
Dengan skala letusan hingga 2.800 m3 menghasilkan kaldera Danau Toba seperti saat ini, yang terisi air selama berpuluh ribu tahun sisa hasil letusan supervulcano Toba pada 74.000 tahun yang lalu. Letusan Gunung Api ini tercatat sebagai letusan Gunung api terbesar yang berkekuatan setara dengan 20 ribu kali letusan bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang yang mempengaruhi iklim di seluruh dunia, hampir selama 1 tahun lebih debu vulkanik menutup atmosfer bumi oleh abu vulkanik dan hanya sekitar 10.000 manusia yang mampu bertahan melewati zaman Es akibat letusan kolosal Toba ini. Bahkan material Vulkaniknya menyebar hingga ke Afrika Selatan dan India. (Reportase Cincin Api Kompas,11/10/11)
Baik secara mitologi oleh masyarakat dan riset oleh beberapa ahli geologi dan badan peneliti asing (peneliti dari bangsa lain,pen) hingga saat ini, data otentik diyakini bahwa gunung toba telah mengalami tiga kali masa letusan meliputi letusan pertama sekitar 840.000 tahun lalu membentuk kaldera Porsea, letusan kedua sekitar 500.000 tahun yang lalu membentuk kaldera Haranggaol, dan yang terakhir sekitar 74.000 tahun yang lalu membentuk kaldera raksasa Sibadung. Catatan tersebut pun secara keseluruhan didapatkan dari catatan usang para peneliti asing yang pernah mengadakan riset tentang Gunung Toba.

AYOO !! SELAMATKAN DANAU TOBA !!


KEPUTUSAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan Danau Toba sebagai Taman Bumi Kaldera Toba pada Maret 2014 diharapkan menjadi awal gerakan warga untuk menyelamatkan Danau Toba.

Tanpa partisipasi warga, terutama warga sekitar Danau Toba, langkah danau itu masuk dalam Jaringan Taman Bumi Global Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) bakal sulit terwujud.

”Dengan masuk ke jaringan Global Geoparks UNESCO, Kaldera Toba akan selamat bagi generasi mendatang,” ujar Direktur Pengembangan Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif, dan Even Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Akhyaruddin, dalam diskusi ”Manfaat Geopark Danau Toba” kerja sama Kompas dengan RE Foundation, di Medan, beberapa pekan lalu.

Namun, tanpa partisipasi warga, semua itu bisa mentah kembali. Dalam diskusi muncul fakta bahwa belum pernah tujuh bupati di sekeliling Danau Toba, yakni Samosir, Simalungun, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Karo, Dairi, dan Tapanuli Utara, duduk bersama untuk membahas Danau Toba. Padahal, posisi bupati sangat penting dalam membangun kawasan Danau Toba kembali jaya seperti era 80-90-an. Selain itu, tidak mudah menyatukan visi warga sekeliling danau yang sering terjebak paradigma adat sebagai ”raja”. Sementara kerusakan lingkungan danau kian masif.

Diskusi juga menghadirkan geolog Badan Geologi, Indyo Pratomo; Ketua Tim Percepatan Taman Bumi Kaldera Toba Sabrina, dan puluhan pemerhati Danau Toba di Sumatera Utara dengan moderator Hinca Panjaitan dari RE Foundation.

Ada tiga pilar pembangunan taman bumi global, yaitu aspek perlindungan dan konservasi, pendidikan, dan pengembangan ekonomi lokal. Menurut Akhyaruddin, ada perbedaan mendasar model pengelolaan taman bumi versi Eropa dan Tiongkok.

Eropa menekankan pentingnya perlindungan dan konservasi serta ilmu pengetahuan untuk pembangunan berkelanjutan. Tiongkok serius mengelola geopark demi konservasi dan peningkatan ekonomi warga.



Situs www.globalgeopark.org menyatakan Tiongkok menempati urutan pertama negara yang memiliki taman bumi global terbanyak, yakni 29 taman bumi, dari 100 taman bumi global yang tersebar di 32 negara.

Tiongkok sadar, masuknya taman bumi mereka dalam jaringan taman bumi global atau Global Geoparks Network (GGN) UNESCO akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke Tiongkok karena promosi yang dilakukan GGN ke dunia.

Tahun 2000, misalnya, Gunung Yuntaishan di Tiongkok hanya dikunjungi 200.000 wisatawan per tahun dengan devisa 3 juta dollar AS. Setelah menjadi anggota GGN UNESCO tahun 2004, Geopark Yuntaishan dikunjungan 1,25 juta wisatawan per tahun dan meraup devisa 90 juta dollar AS.

Dalam empat tahun, di kawasan itu dibangun 400 hotel dan restoran baru, 250 penginapan, dan tersedia tenaga kerja bagi 5.000 orang.

Berbagai produk lokal dan kebudayaan lokal diangkat, pusat informasi geopark didirikan, paket-paket tur ke geosite disediakan, pendidikan geologi dan penelitian internasional bermunculan, para perempuan diberdayakan, dan perusakan kawasan dihentikan.

Sejahterakan warga

GGN UNESCO tidak main-main menetapkan taman bumi layak masuk jaringan global. Keanggotaan taman bumi dievaluasi setiap empat tahun dan bisa dicabut, misalnya, karena degradasi lingkungan. Karenanya, para pemangku kepentingan taman bumi dipacu untuk serius dalam mengelolanya, atau nama Indonesia akan terpuruk di mata internasional.

Maka, GGN harus memiliki rencana pembangunan berkelanjutan bagi warga yang tinggal dalam kawasan. Cara hidup tradisional warga harus dihargai serta hak asasi dan martabat masyarakat lokal dijunjung. Keterlibatan warga setempat hingga tokoh adat begitu penting.




Warga perlu disiapkan karena, begitu geopark nasional masuk ke ranah internasional, investor internasional—baik dalam bidang konservasi, pendidikan, maupun pariwisata—akan berdatangan.

Ketua Tim Percepatan GGN Danau Toba Sabrina mengatakan, pihaknya masih menyelesaikan naskah ilmiah akademik yang diusulkan ke UNESCO. Naskah berupa kajian hubungan dan keterkaitan unsur geologi, biologi, dan budaya setempat. Naskah akademik pun berisi peraturan formal yang mengatur kawasan Danau Toba sebagai situs geologi, biologi, dan budaya di kawasan yang masuk dalam subyek perlindungan dengan batasan kawasan jelas untuk memudahkan pengelolaan.

GGN juga harus punya susunan formal organisasi yang mengakomodasi warga, sinkron dengan tata ruang daerah, dan punya rencana induk pengembangan, termasuk aksi jangka pendek, menengah, dan panjang. GGN juga harus membangun jaringan dengan geopark lain di luar negeri.

Indyo Pratomo mengatakan, secara geologi, Kaldera Toba telah diakui dunia. Untuk penyelesaian naskah akademik itu, sebuah sekretariat bersama sangat dibutuhkan. Tokoh Sumut, RE Nainggolan, mengatakan, pentingnya naskah akademik selesai pada akhir tahun ini sehingga tahun depan Danau Toba sudah masuk dalam GGN. Langkah ini perlu dilakukan agar kerusakan Danau Toba tidak hanya bisa dicegah, tetapi juga diperbaiki.