Daftar nama peserta yang lolos seleksi interview SM-IAGI STT MIGAS Balikpapan

Berikut nama-nama peserta yang lolos interview SM-IAGI STT MIGAS Balikpapan :

- Divisi 1 Penelitian dan Pendidikan Ilmu Kebumian :
   1. Novianti (2013)
   2. Vialenno Victoria Supit (2013)
   3. Gusliano Chandra Putra (2014)
   4. M.Ilham Abrar (2014)
   5. Agung Dwi Siswanto (2014)
   6. Rachmad Surya Putra (2014)

- Divisi 2 Hubungan Masyarakat :
   1. Iqbal Hambali (2013)
   2. Muhammad Takbir (2013)
   3. Deri Gunawan (2014)
   4. Devi Fauziah Maharani (2014)
   5. Krisda Kusumawardani Hasan (2014)

- Divisi 3 Media dan Komunikasi
   1. Achmad Rifai (2013)
   2. Edrie Worang (2013)
   3. Syabani Al Faresi (2013)
   4. Asmara Sabda W (2013)
   5. Ridwan Rasyid (2014)
   6. Prigitha Cahyani Putri (2014)

- Divisi 4 Pengembangan dan Pemberdayaan Oraganisasi
   1. Hizkia Aharon P (2013)
   2. Orchi Pahlevi (2013)
   3. James Siringoringo (2014)
   4. Untung Pahlawan (2014)
   5. Edghar Ahdhka (2014)
   6. Puspa Sari (2014)

- Divisi 5 Dana dan Usaha
   1. Boy Pardomuan (2013)
   2. Fentya Rizky Arinda (2014)
   3. Isham Hasbi (2014)
   4. Kumala Indah (2014)
   5. Darma Priyanto (2014)
   6. Sona Yulia (2014)

Cincin Api Pasifik / "Ring Of Fire"

Pada kesempatan kali ini kita akan bercerita tentang cincin api pasifik yang mana hal ini berkaitan erat dengan gunung api - gunung api yang berderet pada negara kita Indonesia. Masyarakat di tanah air yang merajut hidup di dalamnya ibarat bernafas di tengah lingkaran api. Indonesia memang terletak dalam jalur “ring of fire” kawasan Pasifik yang merupakan zona teraktif dengan deretan gunung vulkanis aktif di dunia.

                                                                             
                                                       Gambar 1. Zona Ring Of Fire

Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (bahasa Inggris: Ring of Fire) adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.
Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5–6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Berikutnya adalah Mid-Atlantic Ridge.


adapun daerah cakupan dari Ring Of Fire :
Selandia Baru                                   Palung Kermadec                                   Palung Tonga
Indonesia                                          Palung Bouganville                                Gunung Merapi
Filipina                                              Palung Filipina                                        Palung Yap
Jepang                                              Palung Mariana                                     Palung Izu Bonin
Palung Ryukyu                                  Palung Jepang                                      Gunung Fuji
Kamchatka                                        Palung Kurile                                         Palung Aleutia
Kepulauan Aleutia                      American Cordillera                                         Alaska
British Columbia                        Pasific Coast Range                               Pegunungan Cascade
Gunung St.Helens                            California                                                  Meksiko
Palung Amerika Tengah                  Guatemala                                               Nikaragua

                                                  Gambar 2. Ring Of Fire Sangat Berkaitan dengan Plate Tectonics
Cincin Api adalah akibat langsung dari lempeng tektonik dan pergerakan serta tabrakan dari lempeng kerak. Bagian timur cincin adalah hasil dari Lempeng Nazca dan Lempeng Cocos menjadi sub bagian di bawah bergerak ke arah barat Lempeng Amerika Selatan. Sebagian dari Lempeng Pasifik bersama dengan lempeng Juan de Fuca kecil sedang sub bagian di bawah Lempeng Amerika Utara. Sepanjang bagian utara dengan lempeng Pasifik bergerak ke arah barat laut sedang sub bagian Kepulauan Aleut di bawah busur. Lebih ke barat lagi lempeng Pasifik sedang sub bagian sepanjang sabuk Semenanjung Kamchatka di selatan melewati Jepang. Bagian selatan lebih kompleks dengan sejumlah kecil lempeng tektonik bertabrakan dengan lempeng Pasifik dari Kepulauan Mariana, Filipina, Bougainville, Tonga, dan Selandia Baru. Indonesia terletak di antara Cincin Api sepanjang kepulauan timur laut berbatasan langsung dengan New Guinea dan di sepanjang sabuk Alpide selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan Timor. Yang terkenal dan sangat aktif zona Patahan San Andreas di California adalah sebuah kesalahan yang mengubah offset sebagian dari Pasifik Timur Naik barat daya di bawah Amerika Serikat dan Meksiko. Gerakan kesalahan kecil menghasilkan banyak gempa bumi, pada beberapa kali sehari, yang kebanyakan terlalu kecil untuk dirasakan. Queen Charlotte Fault aktif di pantai barat Ratu Charlotte Islands, British Columbia, Kanada, telah menghasilkan tiga gempa bumi besar pada abad ke-20: 7 besaran peristiwa pada tahun 1929, yang berkekuatan 8,1 terjadi pada tahun 1949 (terbesar di Kanada tercatat gempa bumi) dan 7,4 besaran pada tahun 1970.


Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5–6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Berikutnya adalah Mid-Atlantic Ridge, sabuk ketiga tempat sering terjadinya gempa.
Dari sebanyak 129 gunung api di Indonesia atau 13 persen dari seluruh gunung api di dunia, terbentang dari pulau Sumatera menyusuri pulau Jawa kemudian menyeberang ke Bali, Nusa Tenggara hingga bagian timur Maluku dan berbelok ke utara pulau Sulawesi. Atau melingkari Kepulauan Indonesia sehingga dikenal dengan sebutan lingkaran api (The Ring of Fire) Indonesia, atau jalur tektonik Indonesia, tegas Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi, Dr Surono, Banyaknya gunung api di Indonesia, karena negara kepulauan ini tercabik-cabik oleh keberadaan pusat hiruk-pikuk tiga lempeng tektonik (tectonic plate), yang saling bertabrakan, katanya. Masing-masing lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, tumbukan ketiga lempeng tersebut pada akhirnya membentuk rangkaian gunung api di Indonesia.

Dijelaskan, kawasan ini menjadi arena benturan antara lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara terhadap lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah barat. Sehingga kepulauan Indonesia dihimpit oleh dua pergerakan, terdiri ke utara dan ke barat dengan kecepatan berkisar 4-6 cm per tahun, maka lempeng yang berbenturan tersebut menunjang tepat di bawah kepulauan Indonesia dan memberi peluang kepada magma merayap naik, persis diatas Nusantara dan membentuk banyak pulau. Di bagian utara terdapat lempeng yang ketiga, lempeng Eurasia yang menahan himpitan tersebut sehingga Nusantara berada dalam lingkaran pertarungan tiga lempeng besar dunia. Akibat benturan ketiga lempeng itu, menyebabkan retaknya beberapa bagian pada kerak bumi, selain menimbulkan panas yang memproduksi batuan cair (magma). Melalui retakan-retakan yang terbentuk, sekaligus sebagai bidang lemah, magma terdorong naik dan membentuk kerucut-kerucut gunungapi. Sementara itu, zona subduksi yang terbentuk sangat luas dimulai dari sisi selatan barat pulau Sumatera hingga sisi selatan pulau Jawa, zona tersebut berlanjut hingga Nusa Tenggara yang memanjang dari barat ke timur. Kemudian di bagian timur Nusantara jalurnya memutar dimulai dari laut Banda di Maluku berputar ke utara memotong Sulawesi bagian utara, tegasnya. Surono menyatakan, team-nya siap dan mampu menangani target letusan lima gunung api di Indonesia setiap tahun.

Refference :
http://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_Api_Pasifik

Metode Logging Geofisika

     A.    GAMBARAN UMUM TENTANG LOGGING GEOFISIKA
Logging adalah teknik untuk mengambil data-data dari formasi dan lubang sumur dengan menggunakan instrumen khusus. Pekerjaan yang dapat dilakukan meliputi pengukuran data-data properti elektrikal (resistivitas dan konduktivitas pada berbagai frekuensi), data nuklir secara aktif dan pasif, ukuran lubang sumur, pengambilan sampel fluida formasi, pengukuran tekanan formasi, pengambilan material formasi (coring) dari dinding sumur, dsb.
Logging tool (peralatan utama logging, berbentuk pipa pejal berisi alat pengirim dan sensor penerima sinyal) diturunkan ke dalam sumur melalui tali baja berisi kabel listrik ke kedalaman yang diinginkan. Biasanya pengukuran dilakukan pada saat logging tool ini ditarik ke atas. Logging tool akan mengirim sesuatu “sinyal” (gelombang suara, arus listrik, tegangan listrik, medan magnet, partikel nuklir, dsb.) ke dalam formasi lewat dinding sumur. Sinyal tersebut akan dipantulkan oleh berbagai macam material di dalam formasi dan juga material dinding sumur. Pantulan sinyal kemudian ditangkap oleh sensor penerima di dalam logging tool lalu dikonversi menjadi data digital dan ditransmisikan lewat kabel logging ke unit di permukaan. Sinyal digital tersebut lalu diolah oleh seperangkat komputer menjadi berbagai macam grafik dan tabulasi data yang diprint pada continuos paper yang dinamakan log. Kemudian log tersebut akan diintepretasikan dan dievaluasi oleh geologis dan ahli geofisika. Hasilnya sangat penting untuk pengambilan keputusan baik pada saat pemboran ataupun untuk tahap produksi nanti.
B.     Sejarah Wellloging
Geofisika well logging pertama kali dikembangkan untuk industri minyak bumi oleh Marcel dan Conrard Schlumberger pada tahun 1927. Schlumberger bersaudara ini mengembangkan alat Resistivitas untuk mendeteksi perbedaan dalam porositas dari batupasir untuk lapangan minyak di Merkwiller-Pechelbronn, di Perancis bagian Timur.
Instrumen yang digunakan untuk well logging ini disebut sonde. Sonde ini diberhentikan dalam lubang bor pada interval periodik tertentu dan resistivitasnya langsung dicatat di dalam kertas grafik. Pada tahun 1929 log resistivitas elektrik dikenalkan pada skala komersial di Venezuela, Amerika Serikat dan Rusia. Dalam perkembangan selanjutnya well logging digunakan untuk korelasi dan identifikasi hydrocarbon. Perekam data filmnya kemudian dikembangkan pada tahun 1936 dengan kurva SN,LN dan LAT. Untuk penentuan kedalaman dalam geofisika well logging dikembangkan pada tahun 1930. Kemudian log gamma ray dan log neutron mulai digunakan pada tahun 1941.
                                          Gambar 1,Gambaran Pengerjaan Logging


Sejak log pertama dijalankan, geofisika well logging telah mengalami perkembangan hingga satu miliar dolar pada industri global yang melayani berbagai kegiatan industri dan penelitian. Geofisika well logging adalah teknologi kunci dalam industri minyak bumi. Dalam industri mineral, merupakan metode yang banyak digunakan baik untuk kegiatan eksplorasi dan untuk memantau kerja dalam pertambangan. Dalam eksplorasi dan penilaian airtanah juga dapat digunakan untuk penggambaran zona akifer dan produksi. Dalam studi regolith, geofisika well logging dapat memberikan wawasan yang unik ke dalam komposisi, struktur, dan variabilitas dari bawah permukaan, dan juga banyak digunakan untuk koreksi kumpulan data geofisika airbone, seperti airbone elektromagnetik.
Dalam geofisika well logging, banyak sifat-sifat fisik berbeda yang dapat diidentifikasi untuk ciri geologi yang mengelilingi sumur. Kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai sifat adalah kemampuan terbaik dalam geofisika well logging. Berbagai jenis informasi yang diperoleh merefleksikan aspek yang berbeda dari geologi dan sering saling melengkapi di alam.
Di dalam eksplorasi batubara, memerlukan pengukuran yang akurat dan tepat agar bisa dipergunakan untuk menentukan sumberdaya dan cadangan batubara. Estimasi sumberdaya atau cadangan merupakan fungsi dari panjang, lebar, tebal, dan specific gravity. Hasil pengukuran dengan menggunakan well loging memberikan hasil yang sangat akurat terhadap fungsi tebal. Fungsi-fungsi jarak dan panjang merupakan kondisi titik informasi sesuai data jarak di lapangan.
Bentuk tiga dimensi atau geometri dari tubuh lapisan batubara di pengaruhi secara langsung oleh letak pengendapan dimana sekuen tersebut terakumulasi. Kontrol topografi ini akan berpengaruh terhadap ketebalan, kadar dan kemenerusan lapisan. Variasi ketebalan batubara juga dipengaruhi oleh proses – proses yang bekerja selama pengendapan dan sesudah pengendapan. Kemenerusan lateral lapisan batubara di lapangan sering terbelah pada jarak yang relatif dekat oleh bentuk yang membaji dari sedimen bukan batubara yang kemudian membentuk dua lapisan batubara yang terpisah dan di sebut autosedimentational split. Dalam lapisan batubara kemungkinan kehadiran lapisan bukan batubara, lapisan ini dikenal dengan istilah “ partings”. Setelah mengetahui seberapa besar partings yang ada maka dapat mengetahui perhitungan cadangan yang akurat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sangat jelas bahwa Well logging merupakan metode yang sangat tepat untuk menentukan tebal lapisan batubara, karena well logging memberikan data yang di perlukan untuk mengevaluasi secara kuantitas banyaknya batubara di lapisan pada saat situasi dan kondisi sesungguhnya . Selanjutnya akan memberikan kepastian terhadap hasil estimasi sumberdaya dan cadangan. Oleh karena itu, penggunaan well logging di dalam eksplorasi batubara adalah penting dan perlu, terutama di dalam penentuan tebal dan estimasi sumberdaya atau cadangan.

                                                                     Gambar 2. Alat Well Logging

a. Logging-While-Drilling (LWD)
Logging-While-Drilling (LWD) adalah pengerjaan logging yang dilakukan bersamaan pada saat membor. Alatnya dipasang di dekat mata bor. Data dikirimkan melalui pulsa tekanan lewat lumpur pemboran ke sensor di permukaan. Setelah diolah lewat serangkaian komputer, hasilnya juga berupa grafik log di atas kertas. LWD berguna untuk memberi informasi formasi (resistivitas, porositas, sonic dan gamma-ray) sedini mungkin pada saat pemboran.

                                                                           Gambar 3. Hasil data Log
b. Mud logging
Mud logging adalah pekerjaan mengumpulkan, menganalisis dan merekam semua informasi dari partikel solid, cairan dan gas yang terbawa ke permukaan oleh lumpur pada saat pemboran. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui berbagai parameter pemboran dan formasi sumur yang sedang dibor

                                                                        Gambar 4. Metode Mud Logging

Tujuan well logging

Well logging adalah alat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu sumur layak atau tidak untuk dieksploitasi atau tidak. Karenanya, well logging harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
  • keberadaaan reservoir
  • lokasi (kedalaman) reservoir
  • ketebalan reservoir
  • litologi reservoir
  • sifat-sifat fisik reservoir (porositas, homogenitas, dll)
  • distribusi lateral dan vertikal dari reservoir
  • jenis fluida yang ada di dalam reservoir
  • saturasi fluida dan sifat-sifat fisisnya (salinitas, suhu, tekanan, dll).
Data logging yang didapatkan tidak selalu dapat diulang kembali, sehingga harus mempunyai kualitas yang tinggi, karena merupakan salah satu metoda yang paling tepat dalam evaluasi formasi.
Logging umumnya dilakukan pada tahapan eksplorasi. Meskipun mampu memberikan data yang akurat tentang kondisi bawah permukaan yang sesungguhnya, data log tetap harus dikorelasi dengn data log di sumur yang lain dan data seismik untuk memperoleh data lateralnya. Hal ini dilakukan tidak lain agar kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang kondisi bawah permukaan lapangan yang kita selidiki.
Logging memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi secara kuantitas banyaknya hidrokarbon pada situasi dan kondisi yang sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang cukup tentang sifat batuan dan cairan. Dari sudut pandang decision maker, logging adalah bagian yang penting dari proses pemboran dan penyelesaian sumur. Adalah mutlak untuk mendapatkan data log yang akurat dan lengkap (Harsono, 1997).
Awalnya penggunaan log ini dipakai dalam industri explorasi minyak sebagai alat bantu interpretasi porositas. Kemudian dalam explorasi batubara malah dikembangkan menjadi unsur utama dalam identifikasi ketebalan bahkan qualitas seam batubara. Dimana rapat masa batubara sangat khas yang hampir hanya setengah kali rapat masa batuan lain pada umumnya. Lebih extrem lagi dalam aplikasinya pada idustri batubara karena sifat fisik ini (rapat masa) hampir linier dengan kandungan abu sehingga pemakaian log ini akan memberikan gambaran khas bagi tiap daerah dengan karakteristik lingkungan pengendapannya. ditembakan dari sumber melewati dan dipantulkan formasi batuan kemudian direkam kembali oleh dua detector yang ditempatkan dalam satu ‘probe’ dengan jarak satu sama lain diatur sedemikan rupa. Kedua detector ’short’ dan ‘long space’ diamankan dari pengaruh sinar g yang datang langsung dari sumber radiasi. Sehingga yang terekam oleh kedua detector hanya sinar yang telah melewati formasi saja. Dalam hal ini efek pemendaran sinar radiasi seperti ditentukan dalam efek pemendaran Compton.
Dimana menurutnya, jumlah sinar yang terpendarkan sebanding dengan jumlah electron per satuan volume. Jumlah electron dalam suatu unsur adalah equivalent dengan jumlah proton (nomor atom Z). Untuk kemudian seperti kita ketahui bahwa nomor atom adalah proporsional dengan nomor masa (A) yang untuk selanjutnya proporsional dengan rapat masa. Seperti diketahui pula bahwa secara umum perbandingan antara nomor atom (Z) terhadap nomor masa (A) selalu mendekati harga 0.5 kecuali untuk unsur hydrogen yang mendekati 1. Dari sini akan sampai pada permasalahan bagi lapisan yang banyak mengandung hydrogen seperti halnya batubara dan air yang akan menggiring pada kesalahan aparansi. Sehingga untuk memperkecil kesalahan tersebut, alat harus sering dikalibrasi dengan menggunakan aluminium yang perbandingan Z/A = 0.5. Dalam hal formasi yang mengandung hydrogen secara menyolok sehingga nilai Z/A menjauh dari nilai 0.5, koreksi sangat diperlukan untuk mengeliminir efek tersebut (factor koreksi ini tidak diuraikan panjang lebar di sini karena hanya menyangkut pekerjaan logging engineer yang bertanggung jawab pada acurasi grafik yang dihasilkannya). Tapi secara selintas dapat disinggung sebagai berikut :

Batubara dimana perbandingan Z/A bervariasi antara 0.51 sampai 0.54 (naik seiring dengan kenaikan kandungan hydrogen. Untuk mengilustrasikannya katakanlah batubara dengan kadar hydrogen 6%. Dalam hal ini Z/A bisa diprediksikan dengan rumus sbb :
Z/A = 0.5(1 – H) + 1 x H
Dimana H adalah kandungan hydrogen dalam decimal sehingga persamaan di atas menjadi
= 0.5(1 – 0.06) + 1 x 0.06 = 0.53
Faktor koreksi adalah mengalikannya dengan 2. Yang patut disimak dengan teliti adalah masalah hubungan antara kecepatan jumlah pendaran g dengan rapat masa yang lebih ruwet dan banyak ketergantungan pada hal lain :
a. Faktor ketergantungan yang utama antara lain pada jarak antara sumber radiasi dengan detector. Untuk jarak SSD yang hanya sekitar 15 cm, hubungan kecepatan jumlah (tembakan g perdetik) terhadap rapat masa menjadi linier bagi medium yang punya rapat masa berkisar antara 1 sampai 3 gram per cc. Sementara LSD yang jarak antara sumber radiasi dengan detector adalah sekitar 48 cm, hubungan kecepatan jumlah terhadap rapat masa menjadi logaritmik.
b. Kedalaman (daya tembus) radiasi dalam formasi juga dikendalikan oleh jarak antara sumber radiasi dengan detector. Untuk SSD penembusan dari sekitar 60% radiasi, hanya dapat menembus tidak lebih dalam dari 4 cm dari kulit ‘probe’ sedangkan untuk LSD dapat menembus sedalam sekitar 8 cm. Ini berarti bahwa untuk SSD akan sangat terpengaruh oleh keadaan dinding lobang sumur dibanding LSD.
c. Hal lain yang mempengaruhi adalah efek dari kolimasi sumber radiasi. Dimana dengan merapatkan sumber radiasi (yang dipasang pada ujung bawah probe) pada dinding sumur akan dapat mengeliminir degradasi oleh jega udara/air antara sumber dengan formasi, tetapi dapat menambah degradasi terhadap resolusi vertical akibat posisi probe yang menjadi tidak betul-betul pertikal dan akan mengakibatkan penurunan daya tembus radiasi g dalam formasi.
Dalam pemakaian radiasi g untuk pengukuran rapat masa ini dipakai radiasi yang memendar ke depan. Untuk memfokuskannya radiasi yang dimanfaatkan adalah yang keluar dari sumber melalui jendela yang disediakan dengan ukuran yang juga telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar log hanya mengukur rapat masa medium (formasi batuan) antara sumber radiasi dengan detector.
B. KALIBRASI
Dalam butir satu di atas telah disinggung bahwa persamaan untuk mencari rapat massa bergantung pada perbandingan nomor atom (Z) terhadap nomor massa (A) maasing-masing unsur yang dilewati oleh perjalanan sinar g. Untuk memperkecil kesalahan penafsiran density dari grafik yang dihasilkan, kita perlu melakukan kalibrasi alat dengan menggunakan zat yang mempunyai perbandingan Z/A mendekati 0.5 dan telah diketahui densitynya. Unsur yang biasa digunakan dalam operasional adalah aluminium yang homogen yang mempunyai nilai Z/A = 0.5. Untuk memaksimalkan efisiensi kalibrasi, ukuran kalibrator disesuaikan dengan jarak antara sumber radiasi dengan detector. Dalam hal ini standard terjauh (LSD) yang umum dipakai adalah 48 centimeter. Sehingga daya tembus efektif maksimal untuk kedua jenis pengukuran (SSD dan LSD) adalah 8 centimeter, maka balok aluminium tidak boleh kurang dari 8 centimeter tebal dan tidak kurang dari 48 centimeter panjang.
Kemudian hasil pengukuran density atas kalibrator tadi dicek terhadap density kalibrator yang sebenarnya. Kalau terjadi deviasi harga pengukuran dari nilai sebenarnya maka harus dilakukan koreksi. Jenis koreksi mungkin jadi tanggung jawab teknisi bila kesalahan bersumber dari alat. Sedangkan koreksi dilakukan dengan cara reduksi nilai grafik, kalau deviasi diakibatkan oleh lingkungan (medium dalam sumur, jenis casing, kondisi lobang sumur dll).
C. KETENTUAN KERJA MENGGUNAKAN LOGGING GEOFISIKA
1. OPERASIONAL LOGGING
a. Logging unit dan personil harus siap di sekitar lobang bor setidaknya setengah jam menjelang pemboran selesai.
b. Petugas logging harus dilengkapi/memakai film badge yang sudah dikalibrasi di instansi yang terkait, atau ada dosimeter yang selalu dibawa dalam kegiatan logging (bisa cukup dosimeter saku).
c. Sumber radiasi selalu jauh dari kerumunan manusia.
d. Detektor senantiasa dikalibrasi bila geologist memandang perlu kalibrasi.
e. Saat probe menjelang dimasukan ke lobang sumur, jendela sumber radiasi senantiasa menghadap ke tempat yang tidak ada manusia
f. Walaupun pendaran radiasi sangat kecil, tetapi tidak dibenarkan meremehkan efek dari radiasi. Hal yang harus diingat bahwa bagi manusia ambang maksimal yang dibolehkan terkena radiasi hanya 5,000 miliram pertahun. Sehingga meminimalkan terkena radiasi harus diusahakan sebisa mungkin.
g. Setelah juru bor menyatakan proses pemboran selesai sesuai permintaan geologist, maka segera probe masuk ke lobang bor.
h. Peralatan bor baru boleh pindah ke lokasi berikutnya setelah probe berhasil mencapai dasar sumur atau sudah mencapai kedalaman yang diinginkan oleh geologist.
i. Log yang diperlukan adalah double gamma density, natural gamma dan kaliper.
j. Untuk LSD (quality log) dibuat scala 1 : 100 sementara untuk SSD (thickness log) dibuat scale 1 : 20 atau 1 : 25. Pembedaan scala harus didasarkan pada perbedaan kecepatan perekaman. Dimana untuk LSD sekitar 6 meter permenit sementara untuk detail scale sekitar 2 meter permenit. Atau hal ini bisa dibicarakan dengan logging engineer.
k. Setelah perekaman selesai dan ujung probe sudah sampai ke permukaan, segera sumber radiasi dimasukkan kembali ke container dan diamankan dengan jarak aman.
l. Sumber radiasi disimpan di camp jauh dari tempat manusia berada. Sebaiknya disimpan dalam lobang tanah yang digali husus sehingga mudah mengeluarkan dan menyimpan. Posisi lobang ini tetap harus jauh dari tempat orang-orang berada.

2. DESKRIPSI LOG CHART

a. Chart yang resminya, diterima geologist dari logging operator setelah dilengkapi dengan segala keperluan data dan kepala/judul dengan segala atributnya (tanggal, total kedalaman yang dibor, total kedalaman logging, jenis kalibrasi yang dilakukan, jenis parameter logging yang dilakukan).
b. Chart Quality dan Chart ketebalan sebaiknya disimpan dalam anplop yang terpisah.
c. Perhatikan chart density apakah ideal atau tidak. Bila ada kelainan, perhatikan chart kaliper, apakah kelainan disebabkan oleh kerusahan lobang bor atau kesalahan perekaman. Kalau ada kelainan akibat kesalahan perekaman segera bicarakan dengan logging engineer.
d. Kerusakan dinding lobang bor biasanya tidak mempengaruhi chart natural gamma (juga kecil pengaruhnya terhadap log LSD, kecuali ada cave/caving dengan kedalaman lebih dari 8 centimeter dari dinding normal lobang bor).
e. Deskripsi dimulai dengan penafsiran thickness log, memberi batas-batas kedalaman batas roof dan floor serta parting (kalau ada). Karena tujuan utama adalah pencarian batubara.
f. Setelah detail log selesai, baru quality log yang merekam semua batuan yang terlewati sepanjang lobang bor. Sementara pembedaan batuan didasarkan pada log natural gamma. Dimana empiris terhadap perbedaan batuan didasarkan pada asumsi kandungan unsur radioaktif dalam formasi batuan. Katakanlah batuan berukuran lempung diendapkan oleh regim aliran bawah yang akan banyak mengendapkan unsur K, sementara batuan berukuran kasar diendapkan oleh regim aliran atas yang akan lebih sedikit mengendapkan unsur K.
g. Untuk log yang baik, akan ada perbedaan bentuk antara log detail dan quality. Gunakan log SSD untuk batubara dan LSD untuk batuan lain. Tetapi kalau terpaksa harus semua dengan LSD, maka deskripsi batubara harus dilakukan empiris-empiris kedalaman. Bila hubungan antara kekuatan radiasi dengan kedalaman adalah logaritmik, maka dibuat pendekatan logaritmik. Sementara kalau hubungannya linier, penentuan batas bisa langsung berdasarkan batas density yang ditentukan (sebagai batasan density batuara adalah 1.3 gram/cc). Sebagai pegangan log SSD biasanya linier, sementara LSD adalah logaritmik (akibat perbedaan jarak sumber terhadap detector).
h. Rekonsiliasikan antara hasil deskripsi serbuk bor ataupun core terhadap chart log yang dihasilkan dari pekerjaan logging geofisika.
i. Hasil rekonsiliasi dipisahkan dari hasil deskripsi di lapangan. Tetapi tetap difilekan sebagai arsip dan akan diperlukan sewaktu-waktu.

Endapan Mineral Hipotermal

Pada kesempatan kali ini kami akan share mengenai endapan mineral hipotermal selamat menyimak yaa sobat blogger.


beberapa endapan mineral terbentuk pada larutan hidrotermal. Berdasarkan temperatur, tekanan dan kondisi geologi pada saat pembentukannya endapan hidrotermal dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: endapan hipotermal, endapan mesotermal dan endapan epitermal. Pada tulisan ini pembahasan terhadap proses pembentukan endapan mineral lebih dikhususkan pada pembentukan endapan hipotermal.
Mineralisasi hipotermal adalah proses pembentukan mineral pada suhu tinggi (300°C- 5000C) yang berada pada lingkungan jauh dengan permukaan pada kedalaman kurang dari 4-6 km. prosesnya hamper sama dengan epithermal dan endapan mesothermal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi secara umum pada lingkungan ini, yang mencirikan karakteristik dari proses mineralisasi, temasuk kondisi geologi lokal (permeabilitas dan reaktivitas dari host-rocks) dan tekanan beserta temperatur dari fluida hydrothermal (air pada temperatur 100°C dapat tetap menjadi cairan dibawah tekanan yang tinggi tetapi ketika berada lingkungan tekanan yang rendah dapat mendidih secara tiba-tiba bahkan meledak secara explosive). Fluida hydrothermal mungkin dari residu magma asli, tetapi umumnya terbentuk ketika airtanah terpanaskan oleh tubuh batuan yang meleleh, contohnya sebuah sub-volcanic magma-chamber.

Gambar (A) : Bedded facies : sphalerit dan galena interlaminasi dengan pirit, hidrotermal karbonat, dan carbonaceus chert. (B) : Urat Kompleks : Pyrite, Sphalerite, Galena, dan Ferroan Carbonaceous. (C) : Dystal hidrotermal sediments. (D) : breksi yang terisikan oleh Sphalerite, dan calcopyrite. (E) : Urat Sphalerite pada Silicified Shale (F)


A. Keberadaan
    Endapan hipotermal terbentuk pada magma chamber pada kedalaman 4.000 – 6.000  meter. Pada endapan ini, biasa terdapat mineral logam yang berupa bornit, kovelit,  kalkosit, kalkopirit, pirit, tembaga, emas, wolfram, molibdenit, seng dan perak.  Mineral logam tersebut berasosiasi dengan mineral - mineral pengotor seperti  piroksen, amfibol, garnet, ilmenit, spekularit, turmalin, topaz, mika hijau dan mika  cokelat (Warmada, 2009).


                                                                       
                                                                    Gambar Keberadaan Endapan Hipotermal

Keberadaan dari endapan hipotermal terkait dengan pembentukannya yang dipengaruhi oleh aktivitas magmatisme yang berada pada lokasi di bawah permukaan, yaitu pada kedalaman 4.000 – 6.000 meter. Selain itu, dengan adanya sistem hidrotermal yang membutuhkan adanya aktivitas magmatisme, maka endapan hipotermal akan dapat ditemukan pada daerah-daerah yang terdapat aktivitas magmatisme seperti sepanjang zona subduksi ataupun ring of fire.

B.   Potensi
Menurut M. Bateman, terdapat beberapa proses pembentukan mineral yang dari proses-proses tersebut akan menghasilkan mineral dengan karakteristik yang khusus. Proses-proses pembentukan mineral menurut Bateman antara lain proses magmatisme, pegmatisme, pneumotalisis, dan hidrotermal. Dalam tulisan ini, telah dipersempit objek studi yaitu berupa endapan mineral hipothermal yang merupakan salah satu bentukan dari proses pembentukan mineral secara hidrotermal.
Endapan hipotermal terbentuk pada temperatur dan tekanan yang tinggi, dan pada umumnya terbentuk kedalaman 4.000 – 6.000 meter, dimana tidak ada perantara yang bisa menghubungakan dengan permukaan. Tekstur dan strukutur pada endapan hipotermal menunjukan bahwa endapan ini merupakan endapan hasil replacement, dan pengisian mineral pada rekahan (vein), sehingga karakter dari endapan dangkal tidak terlihat lagi. Batuan pada endapan hipotermal dapat terlapiskan atau tergeruskan, terkadang mengandung fragmen-fragmen dari batuan dinding.
Pada umumnya, endapan hipotermal berupa perlapisan endapan yang tersusun oleh butiran yang kasar. Endapan mineral yang terdapat pada zona hipotermal antara lain emas, wolframite, scheelite, pyrrhotite, pentlandite, pyrite, arsenopyrite, chalcopyrite, sphalerite, galena, uranite, dan cobalt. Flourite, barite, magnetite, dan ilmenite, dalam jumlah kecil juga mungkin terdapat pada zona ini. Selain mineral-mineral tersebut, terdapat juga mineral – mineral lain yang merupakan penyusun dari batuan beku dan metamorf yang juga dapat dimungkinkan terdapat pada zona hipotermal, biasanya ditemukan bersamaan dengan urat hipotermal.  
Berdasarkan data-data eksperimen dan pemodelan memperlihatkan bahwa logam-logam pada umumnya termobilisasi (berasosiasi) dengan magma. Berdasarkan pengukuran-pengukuran pada material hasil letusan gunung api memperlihatkan bahwa gas-gas yang terlepas dari magma (degassing magma) dapat membawa logam-logam. Berdasarkan studi terhadap beberapa tipe endapan, memperlihatkan adanya hubungan antara jenis (komposisi) magma yang berasosiasi dengan kandungan unsur-unsur logam tertentu, antara lain :
· Magma (batuan beku) dengan kandungan K2O dan Na2O yang tinggi dapat menjadi     host untuk unsur-unsur lithophile seperti Zr, Nb dan Lanthanides.
· Magma dengan komposisi aluminous yang kaya dengan F secara spesifik berasosiasi   dengan Sn, Mo, dan B.
·Timah (Sn) dan tungsten (W) memperlihatkan kecenderungan berasosiasi dengan  “reduced magma” (dicirikan dengan absen-nya magnetite).
·Tembaga (Cu) dan Molibdenum (Mo) memperlihatkan kecenderungan berasosiasi     dengan “oxided magma” (dicirikan dengan kehadiran magnetite).
 Berdasarkan pemetaan terhadap keberadaan (sebaran) endapan-endapan pada              lingkungan hydrothermal memperlihatkan korelasi antara lingkungan tektonik (busur    magmatik) dengan distrik (komplek) bijih. 


                                                             Geothermal dan Volcanic-Hydrothermal system

C.   Penggunaan/Manfaat
Endapan hipotermal, seperti yang telah dibahas pada poin sebelumnya, memiliki berbagai macam asosiasi dengan mineral lain. Dari masing-masing endapan hipotermal tersebut, akan dapat bernilai ekonomis jika dalam jumlah tertentu. Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan dari macam-macam endapan hipotermal.
1.    Emas
Emas termasuk golongan native element, dengan sedikit kandungan perak, tembaga, atau besi. Warnanya kuning keemasan dengan kekerasan 2,5-3 skala Mohs. Bentuk kristal isometric octahedron atau dodecahedron. Specific gravity 15,5-19,3 pada emas murni. Makin besar kandungan perak, makin berwarna keputih-putihan. Dengan kondisi fisik dari emas yang berwarna menarik dan termasuk dalam golongan logam mulia, sehingga endapan ini menjadi komoditas yang memiliki harga tinggi. Dengan kestabilan harganya, maka dibeberapa negara sejak dulu emas dijadikan sebagai standar keuangan. Selain itu, dengan warnanya yang menarik, emas dijadikan sebagai perhiasan dan benda-benda yang memiliki estetika.
2.    Wolframite
Wolframite merupakan mineral series yang biasanya dapat ditemukan pada urat kuarsa dan pegmatite yang merupakan asosiasi dengan intrusi granit. Wolframite merupakan sumber utama dari metal tungsten yang merupakan logam dengan kekuatan yang tinggi dan massanya yang rendah (ringan) sehingga digunakan sebagai bahan alat-alat militer.
3.    Galena
Galena merupakan mineral sulfida, yang pembentukannya masuk dalam kategori pembentukan hipothermal. Endapan dari mineral ini mengandung sejumlah besar perak yang menyatu pada struktur yang ada. Galena merupakan mineral semikonduktor yang digunakan dalam peralatan komunikasi wireless.
Selain endapan dari mineral-mineral hipotermal di atas, masih ada beberapa macam endapan mineral hipotermal lain dengan kegunaan masing-masing. Secara umum, endapan hipotermal memiliki kegunaan yang hampir sama sebagai mineral logam hasil altrasi pada sistem hipotermal.


Reference:http://suarageologi.blogspot.com/2014/10/endapan-mineral-  hidrotermal.html