Metode Logging Geofisika
A. GAMBARAN UMUM TENTANG LOGGING GEOFISIKA
Logging adalah teknik untuk mengambil data-data dari formasi dan lubang sumur dengan menggunakan instrumen khusus. Pekerjaan yang dapat dilakukan meliputi pengukuran data-data properti elektrikal (resistivitas dan konduktivitas pada berbagai frekuensi), data nuklir secara aktif dan pasif, ukuran lubang sumur, pengambilan sampel fluida formasi, pengukuran tekanan formasi, pengambilan material formasi (coring) dari dinding sumur, dsb.
Logging tool (peralatan utama logging, berbentuk pipa pejal berisi alat pengirim dan sensor penerima sinyal) diturunkan ke dalam sumur melalui tali baja berisi kabel listrik ke kedalaman yang diinginkan. Biasanya pengukuran dilakukan pada saat logging tool ini ditarik ke atas. Logging tool akan mengirim sesuatu “sinyal” (gelombang suara, arus listrik, tegangan listrik, medan magnet, partikel nuklir, dsb.) ke dalam formasi lewat dinding sumur. Sinyal tersebut akan dipantulkan oleh berbagai macam material di dalam formasi dan juga material dinding sumur. Pantulan sinyal kemudian ditangkap oleh sensor penerima di dalam logging tool lalu dikonversi menjadi data digital dan ditransmisikan lewat kabel logging ke unit di permukaan. Sinyal digital tersebut lalu diolah oleh seperangkat komputer menjadi berbagai macam grafik dan tabulasi data yang diprint pada continuos paper yang dinamakan log. Kemudian log tersebut akan diintepretasikan dan dievaluasi oleh geologis dan ahli geofisika. Hasilnya sangat penting untuk pengambilan keputusan baik pada saat pemboran ataupun untuk tahap produksi nanti.
B. Sejarah Wellloging
Geofisika well logging pertama kali dikembangkan untuk industri minyak bumi oleh Marcel dan Conrard Schlumberger pada tahun 1927. Schlumberger bersaudara ini mengembangkan alat Resistivitas untuk mendeteksi perbedaan dalam porositas dari batupasir untuk lapangan minyak di Merkwiller-Pechelbronn, di Perancis bagian Timur.
Instrumen yang digunakan untuk well logging ini disebut sonde. Sonde ini diberhentikan dalam lubang bor pada interval periodik tertentu dan resistivitasnya langsung dicatat di dalam kertas grafik. Pada tahun 1929 log resistivitas elektrik dikenalkan pada skala komersial di Venezuela, Amerika Serikat dan Rusia. Dalam perkembangan selanjutnya well logging digunakan untuk korelasi dan identifikasi hydrocarbon. Perekam data filmnya kemudian dikembangkan pada tahun 1936 dengan kurva SN,LN dan LAT. Untuk penentuan kedalaman dalam geofisika well logging dikembangkan pada tahun 1930. Kemudian log gamma ray dan log neutron mulai digunakan pada tahun 1941.
Gambar 1,Gambaran Pengerjaan Logging
Sejak log pertama dijalankan, geofisika well logging telah mengalami perkembangan hingga satu miliar dolar pada industri global yang melayani berbagai kegiatan industri dan penelitian. Geofisika well logging adalah teknologi kunci dalam industri minyak bumi. Dalam industri mineral, merupakan metode yang banyak digunakan baik untuk kegiatan eksplorasi dan untuk memantau kerja dalam pertambangan. Dalam eksplorasi dan penilaian airtanah juga dapat digunakan untuk penggambaran zona akifer dan produksi. Dalam studi regolith, geofisika well logging dapat memberikan wawasan yang unik ke dalam komposisi, struktur, dan variabilitas dari bawah permukaan, dan juga banyak digunakan untuk koreksi kumpulan data geofisika airbone, seperti airbone elektromagnetik.
Dalam geofisika well logging, banyak sifat-sifat fisik berbeda yang dapat diidentifikasi untuk ciri geologi yang mengelilingi sumur. Kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai sifat adalah kemampuan terbaik dalam geofisika well logging. Berbagai jenis informasi yang diperoleh merefleksikan aspek yang berbeda dari geologi dan sering saling melengkapi di alam.
Di dalam eksplorasi batubara, memerlukan pengukuran yang akurat dan tepat agar bisa dipergunakan untuk menentukan sumberdaya dan cadangan batubara. Estimasi sumberdaya atau cadangan merupakan fungsi dari panjang, lebar, tebal, dan specific gravity. Hasil pengukuran dengan menggunakan well loging memberikan hasil yang sangat akurat terhadap fungsi tebal. Fungsi-fungsi jarak dan panjang merupakan kondisi titik informasi sesuai data jarak di lapangan.
Bentuk tiga dimensi atau geometri dari tubuh lapisan batubara di pengaruhi secara langsung oleh letak pengendapan dimana sekuen tersebut terakumulasi. Kontrol topografi ini akan berpengaruh terhadap ketebalan, kadar dan kemenerusan lapisan. Variasi ketebalan batubara juga dipengaruhi oleh proses – proses yang bekerja selama pengendapan dan sesudah pengendapan. Kemenerusan lateral lapisan batubara di lapangan sering terbelah pada jarak yang relatif dekat oleh bentuk yang membaji dari sedimen bukan batubara yang kemudian membentuk dua lapisan batubara yang terpisah dan di sebut autosedimentational split. Dalam lapisan batubara kemungkinan kehadiran lapisan bukan batubara, lapisan ini dikenal dengan istilah “ partings”. Setelah mengetahui seberapa besar partings yang ada maka dapat mengetahui perhitungan cadangan yang akurat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sangat jelas bahwa Well logging merupakan metode yang sangat tepat untuk menentukan tebal lapisan batubara, karena well logging memberikan data yang di perlukan untuk mengevaluasi secara kuantitas banyaknya batubara di lapisan pada saat situasi dan kondisi sesungguhnya . Selanjutnya akan memberikan kepastian terhadap hasil estimasi sumberdaya dan cadangan. Oleh karena itu, penggunaan well logging di dalam eksplorasi batubara adalah penting dan perlu, terutama di dalam penentuan tebal dan estimasi sumberdaya atau cadangan.
Gambar 2. Alat Well Logging
a. Logging-While-Drilling (LWD)
Logging-While-Drilling (LWD) adalah pengerjaan logging yang dilakukan bersamaan pada saat membor. Alatnya dipasang di dekat mata bor. Data dikirimkan melalui pulsa tekanan lewat lumpur pemboran ke sensor di permukaan. Setelah diolah lewat serangkaian komputer, hasilnya juga berupa grafik log di atas kertas. LWD berguna untuk memberi informasi formasi (resistivitas, porositas, sonic dan gamma-ray) sedini mungkin pada saat pemboran.
Gambar 3. Hasil data Log
b. Mud logging
Mud logging adalah pekerjaan mengumpulkan, menganalisis dan merekam semua informasi dari partikel solid, cairan dan gas yang terbawa ke permukaan oleh lumpur pada saat pemboran. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui berbagai parameter pemboran dan formasi sumur yang sedang dibor
Gambar 4. Metode Mud Logging
Tujuan well logging
Well logging adalah alat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu sumur layak atau tidak untuk dieksploitasi atau tidak. Karenanya, well logging harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- keberadaaan reservoir
- lokasi (kedalaman) reservoir
- ketebalan reservoir
- litologi reservoir
- sifat-sifat fisik reservoir (porositas, homogenitas, dll)
- distribusi lateral dan vertikal dari reservoir
- jenis fluida yang ada di dalam reservoir
- saturasi fluida dan sifat-sifat fisisnya (salinitas, suhu, tekanan, dll).
Data logging yang didapatkan tidak selalu dapat diulang kembali, sehingga harus mempunyai kualitas yang tinggi, karena merupakan salah satu metoda yang paling tepat dalam evaluasi formasi.
Logging umumnya dilakukan pada tahapan eksplorasi. Meskipun mampu memberikan data yang akurat tentang kondisi bawah permukaan yang sesungguhnya, data log tetap harus dikorelasi dengn data log di sumur yang lain dan data seismik untuk memperoleh data lateralnya. Hal ini dilakukan tidak lain agar kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang kondisi bawah permukaan lapangan yang kita selidiki.
Logging memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi secara kuantitas banyaknya hidrokarbon pada situasi dan kondisi yang sesungguhnya. Kurva log memberikan informasi yang cukup tentang sifat batuan dan cairan. Dari sudut pandang decision maker, logging adalah bagian yang penting dari proses pemboran dan penyelesaian sumur. Adalah mutlak untuk mendapatkan data log yang akurat dan lengkap (Harsono, 1997).
Awalnya penggunaan log ini dipakai dalam industri explorasi minyak sebagai alat bantu interpretasi porositas. Kemudian dalam explorasi batubara malah dikembangkan menjadi unsur utama dalam identifikasi ketebalan bahkan qualitas seam batubara. Dimana rapat masa batubara sangat khas yang hampir hanya setengah kali rapat masa batuan lain pada umumnya. Lebih extrem lagi dalam aplikasinya pada idustri batubara karena sifat fisik ini (rapat masa) hampir linier dengan kandungan abu sehingga pemakaian log ini akan memberikan gambaran khas bagi tiap daerah dengan karakteristik lingkungan pengendapannya. ditembakan dari sumber melewati dan dipantulkan formasi batuan kemudian direkam kembali oleh dua detector yang ditempatkan dalam satu ‘probe’ dengan jarak satu sama lain diatur sedemikan rupa. Kedua detector ’short’ dan ‘long space’ diamankan dari pengaruh sinar g yang datang langsung dari sumber radiasi. Sehingga yang terekam oleh kedua detector hanya sinar yang telah melewati formasi saja. Dalam hal ini efek pemendaran sinar radiasi seperti ditentukan dalam efek pemendaran Compton.
Dimana menurutnya, jumlah sinar yang terpendarkan sebanding dengan jumlah electron per satuan volume. Jumlah electron dalam suatu unsur adalah equivalent dengan jumlah proton (nomor atom Z). Untuk kemudian seperti kita ketahui bahwa nomor atom adalah proporsional dengan nomor masa (A) yang untuk selanjutnya proporsional dengan rapat masa. Seperti diketahui pula bahwa secara umum perbandingan antara nomor atom (Z) terhadap nomor masa (A) selalu mendekati harga 0.5 kecuali untuk unsur hydrogen yang mendekati 1. Dari sini akan sampai pada permasalahan bagi lapisan yang banyak mengandung hydrogen seperti halnya batubara dan air yang akan menggiring pada kesalahan aparansi. Sehingga untuk memperkecil kesalahan tersebut, alat harus sering dikalibrasi dengan menggunakan aluminium yang perbandingan Z/A = 0.5. Dalam hal formasi yang mengandung hydrogen secara menyolok sehingga nilai Z/A menjauh dari nilai 0.5, koreksi sangat diperlukan untuk mengeliminir efek tersebut (factor koreksi ini tidak diuraikan panjang lebar di sini karena hanya menyangkut pekerjaan logging engineer yang bertanggung jawab pada acurasi grafik yang dihasilkannya). Tapi secara selintas dapat disinggung sebagai berikut :
Batubara dimana perbandingan Z/A bervariasi antara 0.51 sampai 0.54 (naik seiring dengan kenaikan kandungan hydrogen. Untuk mengilustrasikannya katakanlah batubara dengan kadar hydrogen 6%. Dalam hal ini Z/A bisa diprediksikan dengan rumus sbb :
Z/A = 0.5(1 – H) + 1 x H
Dimana H adalah kandungan hydrogen dalam decimal sehingga persamaan di atas menjadi
= 0.5(1 – 0.06) + 1 x 0.06 = 0.53
Faktor koreksi adalah mengalikannya dengan 2. Yang patut disimak dengan teliti adalah masalah hubungan antara kecepatan jumlah pendaran g dengan rapat masa yang lebih ruwet dan banyak ketergantungan pada hal lain :
a. Faktor ketergantungan yang utama antara lain pada jarak antara sumber radiasi dengan detector. Untuk jarak SSD yang hanya sekitar 15 cm, hubungan kecepatan jumlah (tembakan g perdetik) terhadap rapat masa menjadi linier bagi medium yang punya rapat masa berkisar antara 1 sampai 3 gram per cc. Sementara LSD yang jarak antara sumber radiasi dengan detector adalah sekitar 48 cm, hubungan kecepatan jumlah terhadap rapat masa menjadi logaritmik.
b. Kedalaman (daya tembus) radiasi dalam formasi juga dikendalikan oleh jarak antara sumber radiasi dengan detector. Untuk SSD penembusan dari sekitar 60% radiasi, hanya dapat menembus tidak lebih dalam dari 4 cm dari kulit ‘probe’ sedangkan untuk LSD dapat menembus sedalam sekitar 8 cm. Ini berarti bahwa untuk SSD akan sangat terpengaruh oleh keadaan dinding lobang sumur dibanding LSD.
c. Hal lain yang mempengaruhi adalah efek dari kolimasi sumber radiasi. Dimana dengan merapatkan sumber radiasi (yang dipasang pada ujung bawah probe) pada dinding sumur akan dapat mengeliminir degradasi oleh jega udara/air antara sumber dengan formasi, tetapi dapat menambah degradasi terhadap resolusi vertical akibat posisi probe yang menjadi tidak betul-betul pertikal dan akan mengakibatkan penurunan daya tembus radiasi g dalam formasi.
Dalam pemakaian radiasi g untuk pengukuran rapat masa ini dipakai radiasi yang memendar ke depan. Untuk memfokuskannya radiasi yang dimanfaatkan adalah yang keluar dari sumber melalui jendela yang disediakan dengan ukuran yang juga telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar log hanya mengukur rapat masa medium (formasi batuan) antara sumber radiasi dengan detector.
B. KALIBRASI
Dalam butir satu di atas telah disinggung bahwa persamaan untuk mencari rapat massa bergantung pada perbandingan nomor atom (Z) terhadap nomor massa (A) maasing-masing unsur yang dilewati oleh perjalanan sinar g. Untuk memperkecil kesalahan penafsiran density dari grafik yang dihasilkan, kita perlu melakukan kalibrasi alat dengan menggunakan zat yang mempunyai perbandingan Z/A mendekati 0.5 dan telah diketahui densitynya. Unsur yang biasa digunakan dalam operasional adalah aluminium yang homogen yang mempunyai nilai Z/A = 0.5. Untuk memaksimalkan efisiensi kalibrasi, ukuran kalibrator disesuaikan dengan jarak antara sumber radiasi dengan detector. Dalam hal ini standard terjauh (LSD) yang umum dipakai adalah 48 centimeter. Sehingga daya tembus efektif maksimal untuk kedua jenis pengukuran (SSD dan LSD) adalah 8 centimeter, maka balok aluminium tidak boleh kurang dari 8 centimeter tebal dan tidak kurang dari 48 centimeter panjang.
Kemudian hasil pengukuran density atas kalibrator tadi dicek terhadap density kalibrator yang sebenarnya. Kalau terjadi deviasi harga pengukuran dari nilai sebenarnya maka harus dilakukan koreksi. Jenis koreksi mungkin jadi tanggung jawab teknisi bila kesalahan bersumber dari alat. Sedangkan koreksi dilakukan dengan cara reduksi nilai grafik, kalau deviasi diakibatkan oleh lingkungan (medium dalam sumur, jenis casing, kondisi lobang sumur dll).
C. KETENTUAN KERJA MENGGUNAKAN LOGGING GEOFISIKA
1. OPERASIONAL LOGGING
1. OPERASIONAL LOGGING
a. Logging unit dan personil harus siap di sekitar lobang bor setidaknya setengah jam menjelang pemboran selesai.
b. Petugas logging harus dilengkapi/memakai film badge yang sudah dikalibrasi di instansi yang terkait, atau ada dosimeter yang selalu dibawa dalam kegiatan logging (bisa cukup dosimeter saku).
c. Sumber radiasi selalu jauh dari kerumunan manusia.
d. Detektor senantiasa dikalibrasi bila geologist memandang perlu kalibrasi.
e. Saat probe menjelang dimasukan ke lobang sumur, jendela sumber radiasi senantiasa menghadap ke tempat yang tidak ada manusia
f. Walaupun pendaran radiasi sangat kecil, tetapi tidak dibenarkan meremehkan efek dari radiasi. Hal yang harus diingat bahwa bagi manusia ambang maksimal yang dibolehkan terkena radiasi hanya 5,000 miliram pertahun. Sehingga meminimalkan terkena radiasi harus diusahakan sebisa mungkin.
g. Setelah juru bor menyatakan proses pemboran selesai sesuai permintaan geologist, maka segera probe masuk ke lobang bor.
h. Peralatan bor baru boleh pindah ke lokasi berikutnya setelah probe berhasil mencapai dasar sumur atau sudah mencapai kedalaman yang diinginkan oleh geologist.
i. Log yang diperlukan adalah double gamma density, natural gamma dan kaliper.
j. Untuk LSD (quality log) dibuat scala 1 : 100 sementara untuk SSD (thickness log) dibuat scale 1 : 20 atau 1 : 25. Pembedaan scala harus didasarkan pada perbedaan kecepatan perekaman. Dimana untuk LSD sekitar 6 meter permenit sementara untuk detail scale sekitar 2 meter permenit. Atau hal ini bisa dibicarakan dengan logging engineer.
k. Setelah perekaman selesai dan ujung probe sudah sampai ke permukaan, segera sumber radiasi dimasukkan kembali ke container dan diamankan dengan jarak aman.
l. Sumber radiasi disimpan di camp jauh dari tempat manusia berada. Sebaiknya disimpan dalam lobang tanah yang digali husus sehingga mudah mengeluarkan dan menyimpan. Posisi lobang ini tetap harus jauh dari tempat orang-orang berada.
2. DESKRIPSI LOG CHART
2. DESKRIPSI LOG CHART
a. Chart yang resminya, diterima geologist dari logging operator setelah dilengkapi dengan segala keperluan data dan kepala/judul dengan segala atributnya (tanggal, total kedalaman yang dibor, total kedalaman logging, jenis kalibrasi yang dilakukan, jenis parameter logging yang dilakukan).
b. Chart Quality dan Chart ketebalan sebaiknya disimpan dalam anplop yang terpisah.
c. Perhatikan chart density apakah ideal atau tidak. Bila ada kelainan, perhatikan chart kaliper, apakah kelainan disebabkan oleh kerusahan lobang bor atau kesalahan perekaman. Kalau ada kelainan akibat kesalahan perekaman segera bicarakan dengan logging engineer.
d. Kerusakan dinding lobang bor biasanya tidak mempengaruhi chart natural gamma (juga kecil pengaruhnya terhadap log LSD, kecuali ada cave/caving dengan kedalaman lebih dari 8 centimeter dari dinding normal lobang bor).
e. Deskripsi dimulai dengan penafsiran thickness log, memberi batas-batas kedalaman batas roof dan floor serta parting (kalau ada). Karena tujuan utama adalah pencarian batubara.
f. Setelah detail log selesai, baru quality log yang merekam semua batuan yang terlewati sepanjang lobang bor. Sementara pembedaan batuan didasarkan pada log natural gamma. Dimana empiris terhadap perbedaan batuan didasarkan pada asumsi kandungan unsur radioaktif dalam formasi batuan. Katakanlah batuan berukuran lempung diendapkan oleh regim aliran bawah yang akan banyak mengendapkan unsur K, sementara batuan berukuran kasar diendapkan oleh regim aliran atas yang akan lebih sedikit mengendapkan unsur K.
g. Untuk log yang baik, akan ada perbedaan bentuk antara log detail dan quality. Gunakan log SSD untuk batubara dan LSD untuk batuan lain. Tetapi kalau terpaksa harus semua dengan LSD, maka deskripsi batubara harus dilakukan empiris-empiris kedalaman. Bila hubungan antara kekuatan radiasi dengan kedalaman adalah logaritmik, maka dibuat pendekatan logaritmik. Sementara kalau hubungannya linier, penentuan batas bisa langsung berdasarkan batas density yang ditentukan (sebagai batasan density batuara adalah 1.3 gram/cc). Sebagai pegangan log SSD biasanya linier, sementara LSD adalah logaritmik (akibat perbedaan jarak sumber terhadap detector).
h. Rekonsiliasikan antara hasil deskripsi serbuk bor ataupun core terhadap chart log yang dihasilkan dari pekerjaan logging geofisika.
i. Hasil rekonsiliasi dipisahkan dari hasil deskripsi di lapangan. Tetapi tetap difilekan sebagai arsip dan akan diperlukan sewaktu-waktu.
Endapan Mineral Hipotermal
Pada kesempatan kali ini kami akan share mengenai endapan mineral hipotermal selamat menyimak yaa sobat blogger.
beberapa endapan
mineral terbentuk pada larutan hidrotermal. Berdasarkan temperatur, tekanan dan
kondisi geologi pada saat pembentukannya endapan hidrotermal dapat dibagi
menjadi 3 jenis yaitu: endapan hipotermal, endapan mesotermal dan endapan
epitermal. Pada tulisan ini pembahasan terhadap proses pembentukan endapan
mineral lebih dikhususkan pada pembentukan endapan hipotermal.
Mineralisasi hipotermal
adalah proses pembentukan mineral pada suhu tinggi (300°C- 5000C) yang berada
pada lingkungan jauh dengan permukaan pada kedalaman kurang dari 4-6 km.
prosesnya hamper sama dengan epithermal dan endapan mesothermal.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi secara umum pada lingkungan ini, yang mencirikan
karakteristik dari proses mineralisasi, temasuk kondisi geologi lokal
(permeabilitas dan reaktivitas dari host-rocks) dan tekanan beserta temperatur
dari fluida hydrothermal (air pada temperatur 100°C dapat tetap menjadi cairan
dibawah tekanan yang tinggi tetapi ketika berada lingkungan tekanan yang rendah
dapat mendidih secara tiba-tiba bahkan meledak secara explosive). Fluida
hydrothermal mungkin dari residu magma asli, tetapi umumnya terbentuk ketika
airtanah terpanaskan oleh tubuh batuan yang meleleh, contohnya sebuah
sub-volcanic magma-chamber.
Gambar (A) : Bedded
facies : sphalerit dan galena interlaminasi dengan pirit, hidrotermal karbonat,
dan carbonaceus chert. (B) : Urat Kompleks : Pyrite, Sphalerite, Galena, dan
Ferroan Carbonaceous. (C) : Dystal hidrotermal sediments. (D) : breksi yang
terisikan oleh Sphalerite, dan calcopyrite. (E) : Urat Sphalerite pada
Silicified Shale (F)
A. Keberadaan
Endapan hipotermal
terbentuk pada magma chamber pada kedalaman 4.000 – 6.000 meter. Pada endapan
ini, biasa terdapat mineral logam yang berupa bornit, kovelit, kalkosit,
kalkopirit, pirit, tembaga, emas, wolfram, molibdenit, seng dan perak. Mineral
logam tersebut berasosiasi dengan mineral - mineral pengotor seperti piroksen,
amfibol, garnet, ilmenit, spekularit, turmalin, topaz, mika hijau dan mika cokelat
(Warmada, 2009).
Gambar Keberadaan
Endapan Hipotermal
Keberadaan dari endapan
hipotermal terkait dengan pembentukannya yang dipengaruhi oleh aktivitas
magmatisme yang berada pada lokasi di bawah permukaan, yaitu pada kedalaman
4.000 – 6.000 meter. Selain itu, dengan adanya sistem hidrotermal yang
membutuhkan adanya aktivitas magmatisme, maka endapan hipotermal akan dapat
ditemukan pada daerah-daerah yang terdapat aktivitas magmatisme seperti
sepanjang zona subduksi ataupun ring of fire.
B. Potensi
Menurut M. Bateman,
terdapat beberapa proses pembentukan mineral yang dari proses-proses tersebut
akan menghasilkan mineral dengan karakteristik yang khusus. Proses-proses
pembentukan mineral menurut Bateman antara lain proses magmatisme, pegmatisme,
pneumotalisis, dan hidrotermal. Dalam tulisan ini, telah dipersempit objek
studi yaitu berupa endapan mineral hipothermal yang merupakan salah satu
bentukan dari proses pembentukan mineral secara hidrotermal.
Endapan hipotermal
terbentuk pada temperatur dan tekanan yang tinggi, dan pada umumnya terbentuk
kedalaman 4.000 – 6.000 meter, dimana tidak ada perantara yang bisa
menghubungakan dengan permukaan. Tekstur dan strukutur pada endapan hipotermal
menunjukan bahwa endapan ini merupakan endapan hasil replacement, dan pengisian
mineral pada rekahan (vein), sehingga karakter dari endapan dangkal tidak
terlihat lagi. Batuan pada endapan hipotermal dapat terlapiskan atau
tergeruskan, terkadang mengandung fragmen-fragmen dari batuan dinding.
Pada umumnya, endapan
hipotermal berupa perlapisan endapan yang tersusun oleh butiran yang kasar.
Endapan mineral yang terdapat pada zona hipotermal antara lain emas,
wolframite, scheelite, pyrrhotite, pentlandite, pyrite, arsenopyrite,
chalcopyrite, sphalerite, galena, uranite, dan cobalt. Flourite, barite,
magnetite, dan ilmenite, dalam jumlah kecil juga mungkin terdapat pada zona
ini. Selain mineral-mineral tersebut, terdapat juga mineral – mineral lain yang
merupakan penyusun dari batuan beku dan metamorf yang juga dapat dimungkinkan
terdapat pada zona hipotermal, biasanya ditemukan bersamaan dengan urat
hipotermal.
Berdasarkan data-data
eksperimen dan pemodelan memperlihatkan bahwa logam-logam pada umumnya
termobilisasi (berasosiasi) dengan magma. Berdasarkan pengukuran-pengukuran
pada material hasil letusan gunung api memperlihatkan bahwa gas-gas yang
terlepas dari magma (degassing magma) dapat membawa logam-logam. Berdasarkan
studi terhadap beberapa tipe endapan, memperlihatkan adanya hubungan antara
jenis (komposisi) magma yang berasosiasi dengan kandungan unsur-unsur logam
tertentu, antara lain :
· Magma (batuan beku) dengan kandungan
K2O dan Na2O yang tinggi dapat menjadi host untuk unsur-unsur lithophile
seperti Zr, Nb dan Lanthanides.
· Magma dengan komposisi aluminous yang
kaya dengan F secara spesifik berasosiasi dengan Sn, Mo, dan B.
·Timah (Sn) dan tungsten (W)
memperlihatkan kecenderungan berasosiasi dengan “reduced magma” (dicirikan
dengan absen-nya magnetite).
·Tembaga (Cu) dan Molibdenum (Mo)
memperlihatkan kecenderungan berasosiasi dengan “oxided magma” (dicirikan
dengan kehadiran magnetite).
Berdasarkan pemetaan
terhadap keberadaan (sebaran) endapan-endapan pada lingkungan hydrothermal
memperlihatkan korelasi antara lingkungan tektonik (busur magmatik) dengan
distrik (komplek) bijih.
Geothermal dan Volcanic-Hydrothermal system
C. Penggunaan/Manfaat
Endapan hipotermal,
seperti yang telah dibahas pada poin sebelumnya, memiliki berbagai macam
asosiasi dengan mineral lain. Dari masing-masing endapan hipotermal tersebut,
akan dapat bernilai ekonomis jika dalam jumlah tertentu. Berikut ini adalah
beberapa contoh penggunaan dari macam-macam endapan hipotermal.
1. Emas
Emas termasuk golongan
native element, dengan sedikit kandungan perak, tembaga, atau besi. Warnanya
kuning keemasan dengan kekerasan 2,5-3 skala Mohs. Bentuk kristal isometric
octahedron atau dodecahedron. Specific gravity 15,5-19,3 pada emas murni. Makin
besar kandungan perak, makin berwarna keputih-putihan. Dengan kondisi fisik
dari emas yang berwarna menarik dan termasuk dalam golongan logam mulia,
sehingga endapan ini menjadi komoditas yang memiliki harga tinggi. Dengan
kestabilan harganya, maka dibeberapa negara sejak dulu emas dijadikan sebagai
standar keuangan. Selain itu, dengan warnanya yang menarik, emas dijadikan
sebagai perhiasan dan benda-benda yang memiliki estetika.
2. Wolframite
Wolframite merupakan
mineral series yang biasanya dapat ditemukan pada urat kuarsa dan pegmatite
yang merupakan asosiasi dengan intrusi granit. Wolframite merupakan sumber
utama dari metal tungsten yang merupakan logam dengan kekuatan yang tinggi dan
massanya yang rendah (ringan) sehingga digunakan sebagai bahan alat-alat
militer.
3. Galena
Galena merupakan
mineral sulfida, yang pembentukannya masuk dalam kategori pembentukan
hipothermal. Endapan dari mineral ini mengandung sejumlah besar perak yang
menyatu pada struktur yang ada. Galena merupakan mineral semikonduktor yang
digunakan dalam peralatan komunikasi wireless.
Selain endapan dari
mineral-mineral hipotermal di atas, masih ada beberapa macam endapan mineral
hipotermal lain dengan kegunaan masing-masing. Secara umum, endapan hipotermal
memiliki kegunaan yang hampir sama sebagai mineral logam hasil altrasi pada
sistem hipotermal.
Reference:http://suarageologi.blogspot.com/2014/10/endapan-mineral- hidrotermal.html
Langganan:
Postingan (Atom)